Gus Gusan

September 20, 2025 (1w ago)

Kenapa harus Gus? Serius, emang kenapa kalau bukan Gus? Apa kalau nikah sama Gus, listrik jadi gratis? Beras turun harga? Atau tiba-tiba rumah tangga auto harmonis kayak iklan sari wangi?

Di banyak desa, terutama di Jawa Timur, orang tua masih terjebak dalam mitos “menikah dengan Gus = derajat keluarga naik”. Padahal kalau dipikir, yang naik derajat siapa? Anak sama pasangannya, atau gengsi orang tuanya di arisan?

Fenomena “gus-gus-an” ini makin lama makin bikin sesak. Coba lihat medsos: Gus nongol dengan mobil sport, barang branded, nongkrong bareng pejabat bobrok. Feed Instagram kayak katalog mall. Kalau ditanya soal kondisi rakyat, jawabannya standar: senyum, foto, lalu menghilang. Solidaritas sosial? Ah, itu cuma jargon kalo mau nyaleg.

Lucunya, masyarakat tetap aja mengagungkan. Setiap ada Gus lewat, orang-orang buru-buru merapikan sarung, salim tangan wolak-walik, seolah malaikat pencatat amal ikut lewat juga. Padahal yang lewat cuma anak kiai yang kebetulan lahir dengan title, bukan hasil seleksi nasional.

Ohh itu namanya tawaduk mas

Lah.. tawaduk mah ke semua orang. orang yang berilmu dan yang lebih sepuh. Apakah otomatis harus “nunduk” kalau ketemu Gus. Padahal kalau dibaca di kitab-kitab tasawuf, tawaduk itu kan sikap seorang yang merendahkan diri di hadapan Allah dan orang saleh/punya ilmu tinggi — bukan ritual pengkultusan anak kiai yang baru turun dari Alphard. Menunduklah kalo beliau gus ini ilmunya bagus jadi yang segani ya karna ilmunya bukan karna dia bertitel gus.

Tapi di lapangan, prakteknya berubah: begitu ada Gus lewat, jamaah langsung menunduk seolah kalau nggak nunduk, malaikat catat sebagai dosa besar. Yang kayak begini sebenarnya bukan tawaduk, tapi mental feodal. Pantesan duitmu habis buat beli garam ruqyah.

Dan jangan salah, pola ini udah dibentuk sejak kecil. Anak-anak kiai terbiasa dapat perlakuan istimewa: dihormati, diprioritaskan, dimanja. Akhirnya tumbuhlah generasi yang pikirannya selalu “gue pusat dunia, sisanya ah bisa neh gw manfaatin”. Terus kita heran kalau mereka nggak ngerti penderitaan rakyat kecil? Lha wong dari lahir aja udah hidup di level VIP.

👉 Tapi jangan salah paham juga. Tulisan ini bukan maksud nyamaratkan semua Gus. Ada kok yang benar-benar paham agama, ngerti fiqih, berakhlak, dan hidup sederhana. Ada Gus yang memang bisa jadi teladan, punya empati, dan masih mau membumi. Cuma masalahnya, yang sering tampil di ruang publik justru kebalikannya. Yang nongol di medsos, yang jadi sorotan, ya yang pamer gaya hidup hedon. Akhirnya, citra baik yang seharusnya mereka bawa jadi ikut ketutup.

Masalah sebenarnya bukan pada mereka saja, tapi juga kita—masyarakat yang masih memelihara mitos ini. Orang tua berlomba-lomba ingin anaknya menikah dengan Gus. Seolah-olah kalau dapat Gus, otomatis masuk jalur cepat ke surga. Padahal, kalau lihat realita, banyak juga pernikahan dengan Gus yang kandas, hancur, atau malah penuh drama. Eeiitss..

Jadi, kalau masih ada yang tanya “kenapa harus Gus?”, mungkin jawabannya simpel: Ya biar bisa pamer. Biar pas ditanya tetangga bisa jawab dengan dada membusung: “Menantuku Gus, lho.”

Sementara itu, yang jadi korban ya anak-anak muda yang udah pacaran sehat, tulus, dan serius, tapi kandas gara-gara nggak punya titel. Cinta dikalahkan sama gengsi.

Makanya banyak temen-temenku melihat Pondok Pesantren sekarang punya citra buruk. Bertahun-tahun keluar biaya anak untuk anak mondok, pulang-pulang sudah jadi perokok aktif, diajari ilmu kebal, dongeng-dongeng khurafat, campur baur dengan yang non mahrom.

Tapi gak semua pesantren kayak gitu, dilihat dulu kiainya dan sanad ilmunya. kalo yang tiba-tiba ceramah tanpa guru yang jelas itu udah pasti gurunya dari youtube.

Dulu sebutan 'Gus' terbatas jumlahnya, dilekatkan hanya pada sosok pilihan, seperti: Gus Dur, Gus Mus, dll. Kini sebutan 'Gus' alami penurunan nilai karena dilekatkan ke banyak orang tanpa seleksi.

Panggilan gus itu bukan hanya karena anak dari kiyai tapi kepanjangannya "Sing bagus". Sing bagus prilakunya, sing bagus akhlaknya.

"Gus" udah jadi panggilan receh disini. gw baru ikutan jamaah sholawat, bisa mimpin tahlilan, deket sama pengurus ormas agama. Udah dipanggil 'gus' Padahal hobinya mancing. Gus hiddink ✌️

Ironis, kan?

Tapi ya begitulah budaya kita: lebih sibuk ngejar status sosial daripada akhlak dan kemanusiaan.